Foto : Wahyu Indarto, Kepala Rumah Tahanan Negara Kelas IIB Bangil
WAKTU menunjukkan pukul 09.00. Pagi itu,
halaman Rutan Bangil sudah disesaki kendaraan para pembesuk tahanan.
Mereka mengantre untuk masuk ke dalam rutan. Dengan cekatan, petugas pun
mengecek kartu identitas dan barang bawaan.
Satu
persatu kartu identitas pembesuk “ditahan”. Mereka boleh mengambil
identitas itu kembali, setelah selesai membesuk. “Kami terapkan
peraturan baru ini, untuk mengantisipasi kebobolan. Kami tak
menginginkan kasus di Rutan Salemba terjadi di Rutan Bangil ini. Ketika
itu, ada warga binaan yang menyamar jadi perempuan, keluar rutan dengan
berpura-pura menjadi penjenguk,” ungkap Wahyu Indarto, kepala Rutan
Bangil Kelas IIB mengawali pembicaraan.
Ya,
aturan itulah yang tengah dikeluarkannya beberapa hari terakhir usai
menjabat Kepala Rutan Bangil yang baru. Aturan itu diberlakukannya,
untuk mengantisipasi kaburnya warga binaan dengan melakukan
penyamaran.
Dengan menitipkan KTP ke
petugas, tentunya akan mempermudah pengecekan terhadap pengunjung yang
hendak keluar. Sehingga, upaya penyamaran yang dilakukan warga binaan
pun, bisa gagal. “Kami akan meneruskan hal- hal yang baik yang sudah
dijalankan pejabat sebelumnya. Seperti kegiatan pemberian taushiyah
kepada warga binaan, yang akan kami pertahankan. Bahkan, kalau perlu
ditingkatkan. Sementara yang perlu pembenahan, ya kami akan lakukan,”
jelas Wahyu-sapaannya.
Wahyu
Indarto menggantikan Tri Wahyudi yang dimutasi ke Lapas Klas IIB Dompu,
NTB. Ia resmi menempati posisi Karutan Bangil, sejak sertijab
dilakukan 10 Januari 2017. Saat Jawa Pos Radar Bromo berkunjung ke
kantornya kemarin (20/1), Wahyu terlihat tengah bersantai.
Lelaki
37 tahun ini, dengan ramah menceritakan perjalanan karirnya hingga
menjabat Karutan Bangil saat ini. Kisah perjalanannya menjadi Karutan
Bangil, bermula dari kegagalannya tembus Akabri tahun 1998 silam.
Ia
yang bercita-cita menjadi tentara, mendaftarkan diri ke Akabri usai
lulus SMA 4 Surabaya. Namun, usahanya untuk menjadi tentara buyar. Ia
dinyatakan tak lulus oleh tim seleksi Akabri. Rasa kecewa pun
berkecamuk di dalam benaknya.
“Untungnya, ada
orang tua yang selalu mensupport saya. Mereka menyarankan agar saya
masuk Akademi Ilmu Pemasyarakatan (AKPI) di Cinere,” jelasnya. Masa
pendidikan di AKIP di jalaninya selama kurang lebih tiga tahun.
Masuk
AKIP pun tak mudah. Karena ia harus bersaing dengan 500-an pendaftar
yang lain. Padahal, kuota yang diberikan hanya untuk 60 siswa. Syukur,
ia dinyataka lolos seleksi dan diterima. Ia pun lulus AKIP sekitar
tahun 2001.
“Begitu lulus, saya
magang di Lapas Klas I Cipinang sampai 2003,” kisah suami dari
Adelia Asrie Pratiwi tersebut. Lalu, Wahyu ditempatkan sebagai staf di
Rutan Klas 1 Surabaya, sejak tahun 2003. Cukup lama di Rutan Surabaya,
hingga ia pun dipercaya menjabat Kasubsi Administrasi dan Perawatan
Rutan Medaeng tahun 2009.
Selama
kurang lebih empat tahun, ia pun diamanahi jabatan baru sebagai Kepala
Satuan Pengamanan di Lapas Wirogunan atau yang lebih dikenal
Lapas IIA Jogjakarta. Jabatan Kepala Satuan Pengamanan di Lapas
Wirogunan itu, dijabatnya sejak 2013 hingga 2015. Karena pada 2015,
ia dilantik sebagai Kepala Satuan Pengamanan di Lapas Klas IIa
Narkotika Jakarta.
“Baru tanggal 22
Desember 2016 kemarin, saya dilantik sebagai Kepala Rutan Bangil. Dan,
tanggal 10 Januari 2017, sertijab dilakukan,” sambung ayah dari Felisa
Angel Putri Indarto dan Anrow Kusumo Putra Indarto tersebut.
Selama
berpindah-pindah posisi itu, sudah banyak pengalaman yang
didapatkannya. Tak hanya pengalaman yang menyenangkan karena
bersentuhan dengan orang- orang banyak kasus. Banyak pula pengalaman tak
menyenangkan didapatinya. Namun, semua itu sangat berkesan
baginya hingga sekarang.
Seperti
halnya ketika ia menjabat Kasubsi Administrasi dan Perawatan Rutan
Medaeng. Ketika itu, ia bertugas mengawal terpidana mati kasus
pembunuhan Sumarsih, dari kamar tahanan ke mobil Brimob. Suasana waktu
itu terasa hening.
Kontras dengan
kondisi biasanya, yang cukup ramai di rutan setempat. Bukan hanya itu,
kondisi tak biasa juga terasa dari aroma yang tercium di sekitaran
rutan. Mendadak, ia dan pegawai rutan yang lain, mencium bau bunga
kamboja.
“Yang lebih aneh lagi,
terdengar suara burung gagak. Padahal, tidak ada burung gagak di
sekitar rutan,” katanya heran. Pengalaman tak terlupakan lainnya, yakni
melihat ketegaran Mary Jane, warga Filipina yang lolos dari hukuman
mati.
Narapidana kasus narkoba itu
merasa tegar meski akan dieksekusi mati. Tidak ada rasa sedih, bahkan
saat pengambilannya dari Lapas Wirogunan. “Kebetulan waktu itu saya
menjabat Kepala Satuan Pengamanan di Lapas Wirogunan. Sehingga, kerap
bertemu dan komunikasi dengan Mary Jane. Tapi, ia tampak tegar. Itu
yang membuat saya terkesan,” ce rita pehobi tenis tersebut.
Yang
juga tak terlupakan, saat ia masih menjabat Kasubsi Administrasi
Perawatan di Rutan Medaeng. Ia mendapat teror akan dibunuh, oleh mantan
narapidana yang juga merupakan gembong narkoba. Alasannya, ia
melakukan pemindahan narapidana bandar-bandar narkoba di Rutan Medaeng
tersebut, ke lapas-lapas yang lain.
“Saya
mencurigai adanya peredaran narkoba yang terjadi di dalam Rutan
Medaeng. Makanya, saya pindahkan bandar-bandar narkoba yang ada di
Medaeng. Rupaya, itu membuat geram bandar besarnya. Hingga mengancam
akan mengarungkan saya atau membunuh saya. Tapi, saya bukannya takut dan
justru malah merasa tertantang,” kenangnya.
Beberapa
pengalaman itulah, menjadi penggalan cerita yang tak terlupakan bagi
Wahyu. Di samping masih ada seabrek kisah lainnya, tentang suasana yang
ada di rutan ataupun lapas. Termasuk cerita aksi tawuran warga binaan
yang ada di lapas.
Hal itu terus
menjadi pembelajaran baginya, untuk bisa lebih mendekati dan memahami
ke butuhan para narapidana. Sehingga, hal-hal yang tak diinginkan
seperti tawuran antar napi tersebut, tidak sampai terjadi di Rutan
Bangil.
“Dulu waktu di Lapas
Narkotika, bisa sebulan dua kali bahkan tiga kali, kasus perkelahian
antarwarga binaan. Namun, disini sepertinya tidak ada. Makanya, hal yang
berpotensi menjadi gesekan, akan terus kami tekan.
Sementara
hal yang baik seperti pemberian siraman rohani kepada para warga
binaan, akan kami pertahankan. Bahkan, kalau perlu ditingkatkan,” tutur
lelaki kelahiran Solo, 5 Septem- ber 1979 tersebut. (http://www.kabarbromoterkini.com/)